TANGERANG (Banten) ketikberita.com | Tiga hakim di Pengadilan Negeri Tangerang dan dua hakim di Pengadilan Tinggi Banten diadukan ke Komisi Yudisial (KY). Ke lima hakim tersebut diduga kuat melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yakni patut diduga tidak menjalankan asas dan ketentuan yang menjadi patokan bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara.
Tiga hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang dilaporkan ke KY adalah LK , HH dan RS Sementara dua hakim Pengadilan Tinggi Banten yang dilaporkan adalah RD dan VS.
“Kedatangan kami ke Komisi Yudisial ini untuk mengadukan adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim di PN Tangerang dan PT Banten,” terkait jalannya persidangan dan Putusan Perkara ujar advokat Julius Ferdinandus selaku tim kuasa hukum Pengadu Ester Silooy, S.H, kepada awak media, Rabu (1/2/2023).
Julius merasa perilaku dan sikap para hakim yang dilaporkannya itu diduga kuat tidak profesional dan tidak berimbang dalam menjalankan tugasya.
“Mereka diduga tidak objektif kepada pihak yang lain,” ujarnya.
Hal itu sangat dirasakan di mana selama jalannya persidangan maupun sidang lokasi, pihak penggugat, tidak mengetahui letak atau arah letak obyek yang disengketakan.
“Majelis hakim kami rasakan berat sebelah, di mana banyak hal dan kesempatan patut diduga berpihak kepada pihak lawan daripada kita,” terang Julius.
Salah satu hal kecil, dicontohkan Julius, adalah ketika pemeriksaan saksi dipersidangan.
“Ketika kita memberikan pendapat atau minta waktu sering di sela atau dibatasi,” ujar Julius.
“Sedangkan untuk pihak lawan selalu diberikan waktu yang lebih,” sambungnya.
Pada persidangan di tingkat pertama Julius menyebut amat kental nuansa keberpihakan para hakim.
“Yang kami rasakan ada ketidakadilan yang dilakukan para hakim selama persidangan,” katanya.
Dia menilai asas-asas putusan yang digunakan majelis hakim patut diduga menyimpang dari yang seharusnya . Padahal asas-asas untuk putusan hakim itu harus menjadi patokan dan dasar, supaya putusannya menjadi sempurna.
“Misalnya begini, didalam putusan perkara yang seharusnya 2 pihak namun didalam pertimbangan hukum dan amar putusannya memiliki penafsiran menjadi 3 pihak
Julius juga mencermati kejanggalan lain yang dirasakan agak aneh terkait kasus tersebut. Yakni terkait pemenuhan unsur perbuatan melawan hukum pasal 1365 KUHPerdata didasarkan pada laporan polisi yang prematur laporan polisi pengrusakan gembok dan pemalangan pintu ruko yang belum berkekuatan hukum tetap, berupa laporan polisi yang masih pada tahap klarifikasi saksi.
“Laporan polisi yang masih dalam tingkat penyelidikan dan klarifikasi saksi. Jadi yang digunakan sebagai dasar perbuatan melawan hukum oleh hakim adalah satu perbuatan yang belum teruji,” tegasnya.
Julius beralasan laporan polisi dalam kasus ini masih dalam taraf klarifikasi saksi, sehingga belum diuji perbuatannya di pengadilan, lagipula yang dilapor adalah Advokat yang sementara jalankan profesi bukan pihak.
“Maka, dengan demikian Majelis Hakim Pemeriksa Tingkat Pertama dan kedua tidak bisa menggunakan alasan pengrusakan, penggembokan dan pemalangan pintu sebagai dasar pemenuhan unsur Pasal 1365 KUHPerdata, karena tidak memiliki kekuatan hukum tetap,” jelas Julius.
Dia mengatakan dasar dari perbuatan hukum itu adalah adanya laporan pengrusakan dan pemalangan pintu ruko.
Anehnya lagi dalam pertimbangan hukum, kejadian yang terjadi adalah “Pemasangan plang pengumuman tetapi berubah menjadi “Pemalangan pintu ruko”. Nah, ini kan dua hal yang berbeda dan ini merupakan kata bentukan daripada hakim tersebut,” ujarnya.
Julius menyebut pada saat pengggembokan obyek gugatan tersebut, terjadi pemasangan plang pengumuman yang melarang kegiatan apapun di lokasi tersebut.
“Jadi bukan pemalangan pintu ruko. Hakim terkesan ‘plintir’ kalimat sehingga jadi berbeda makna,” jelasnya.
“Sebenarnya bunyinya pemasangan plang pengumuman, tetapi didalam pertimbangan hukumnya disebutkan pemalangan pintu ruko. Anehnya dalil hakim ditingkat pertama, tandasnya. (Mad Sutisna)