“Tertutupnya Partai Politik” Pemerintah Harus Kaji Ulang Penambahan Bantuan Keuangan Partai Politik

316

MEDAN ketikberita.com | Rencana Pemerintah untuk memberikan bantuan kepada partai politik sebesar Rp. 5000 (lima ribu rupiah) di daerah harus dikaji ulang. Hal ini mengingat kepatuhan partai politik di Sumatera Utara terhadap Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) masih sangat rendah.

Hal ini dungkapkan oleh Peneliti Sentra Advokasi untuk Hak Dasar Rakyat (SAHdaR) Yudi Pratama, Jumat (07/10/22) dalam sesi diskusi dengan Tema “ Partai Politik atau Firma Politik.”

Rendahnya kepatuhan akan keterbukaan informasi di partai politik menemui banyak permasalahan. Mengingat, semakin tertutupnya sebuah badan publik maka transparansi menjadi semakin jauh, tentu hal ini berimplikasi pada akuntabilitas partai yang semakin rendah.

Bila dikaji berdasarkan aturan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, maka partai politik di daerah dapat mengajukan penambahan bantuan keuangan menjadi Rp 5.000 (lima ribu rupiah) per suara sah, setelah sebelumnya Rp 2.400 (dua ribu empat ratus rupiah) per suara sah.

Oleh karena itu, untuk realisasi anggaran tahun 2022, partai politik di daerah akan menerima bantuan sebesar Rp. 31.630.285.000 (tiga puluh satu miliar enam ratus tiga puluh juta dua ratus delapan puluh lima ribu rupiah) dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Utara. Jumlah itu terbilang fantastis bila dibandingkan dengan kepatuhan partai politik dalam memenuhi keterbukaan informasi.

Menjadi pertanyaan ke mana dana tersebut digunakan oleh partai politik, sebab informasi mengenai laporan keuangan dan laporan kegiatan yang seharusnya disediakan oleh partai politik di Sumatera Utara sangatlah tertutup.

Rendahnya akuntabilitas tersebut dapat membuka ruang korupsi. Di mana bantuan keuangan yang akan diberikan kepada partai politik juga semakin rentan untuk disalahgunakan.

“Sejujurnya kami khawatir dana ini nantinya disalahgunakan untuk kepentingan segelintir elit parpol [partai politik] di daerah. Bukan untuk melakukan kegiatan pengkaderan dan pendidikan politik sebagaimana maksud dan tujuan anggaran tersebut,” terang Yudi Pratama.

Hasil penilaian terhadap keterbukaan informasi partai politik di Sumatera Utara yang dilakukan sejak Agustus 2022 sampai dengan Oktober 2022 menunjukkan bahwa pengurus partai politik masih belum sepakat mengenai isu keterbukaan informasi.

Mengingat pengurus partai masih terbatas dalam memahami tentang keterbukaan informasi di partai politik, pengurus partai politik di daerah belum memandang keterbukaan informasi secara komprehensif sebagaimana amanat UU KIP.

Legislasi mengenai keterbukaan informasi merupakan produk yang dilahirkan oleh partai politik, di mana aturan tersebut mengharuskan setiap badan publik, termasuk partai politik, untuk membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan menyediakan informasi kepada publik, seperti laporan tahunan, laporan kegiatan serta keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh partai politik.

Namun hasil penilaian yang SAHdaR lakukan menunjukkan pemikiran mengenai keterbukaan hanya terbatas pada menyalurkan informasi mengenai agenda kegiatan yang dilakukan oleh partai politik.

Penilaian terhadap 12 partai politik di Sumatera Utara, menunjukkan fakta bahwa 9 partai politik di Sumatera Utara belum memiliki website sendiri. Hanya beberapa partai diantaranya, seperti Partai Keadilan Sejahtera, Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sumatera Utara yang terdata sudah memiliki website mandiri.

Masalahnya, informasi yang disajikan dalam laman website juga sangat terbatas. Kepentingan akan adanya website merupakan bagian dari pelayanan partai politik dan sumber informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang seluk beluk partai politik.

Hasil survei publik yang sudah dilakukan kepada masyarakat Sumatera Utara, diketahui bahwa 67,8 % masyarakat mengetahui bahwa partai politik merupakan badan publik yang memiliki kewajiban untuk memberikan informasi kepada publik.

Dari data tersebut, 13,8 % pernah memohonkan informasi kepada partai politik, yang mana dari jumlah tersebut sebanyak 32,9 % diantaranya mengajukan Laporan Pertanggungjawaban Partai Politik, dan 15,2% memohonkan Laporan Keuangan Partai Politik.

Sementara hanya ada 6,4 % responden yang mengaku memperoleh data yang dimohonkan tersebut. Menariknya, dari survei tersebut 44 % responden menyatakan partai politik di Sumatera Utara belum informatif.

Keadaan ini tentu berbalik dari hasil penilaian Komisi Informasi di tingkat nasional, di mana Partai Demokrat dan Gerinda menjadi partai yang terbuka dan informatif.

Komisioner Komisi Informasi Sumatera Utara, M. Syafi Sitorus menginformasikan bahwa keterbukaan informasi partai politik sebenarnya sangat penting, mengingat partai politik setiap tahunnya menerima dana bantuan dari pemerintah. Ke depan, Komisi Informasi akan mengagendakan untuk melakukan monitoring dan evaluasi terkait keterbukaan informasi di partai politik.

Lebih lanjut menurut pengakuan salah seorang komisioner Komisi Informasi tersebut, animo dari masyarakat terhadap informasi dari partai politik juga masih rendah. Oleh karena itu, pada masa mendatang Komisi Informasi Sumatera Utara akan melakukan sosialisasi terkait kepatuhan keterbukaan informasi partai politik kepada masyarakat.

“Sepanjang perjalanan Komisi Informasi Sumatera Utara, tercatat hanya SAHdaR yang pernah mengajukan permohonan informasi kepada partai politik,” ujar M. Syafi Sitorus.

Peneliti SAHdaR mengungkapkan bahwa mereka telah mengajukan permohonan wawancara kepada 11 Partai Politik di Sumatera Utara untuk melihat sejauh mana kepatuhan keterbukaan informasi partai politik di Sumatera Utara.

“Hasilnya hanya ada 6 partai politik, diantaranya, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Demokrat, Partai Nasdem, PDIP, PKS, dan Gerindra yang menerima permohonan wawancara. Namun dalam proses tersebut hanya 4 partai, yakni PKS, PDIP, PSI, dan Gerindra yang terlaksana. Sementara Partai Demokrat dan Partai Nasdem sampai dengan kegiatan ini dilakukan, belum terealisasi karena kendala jadwal dari pengurus,” tutur Yudi Pratama.

“Partai politik di Sumatera Utara memang tidak mematuhi UU KIP mengingat tidak ada satu pun partai di Sumatera Utara yang memiliki pejabat PPID,” pungkas Yudi Pratama. (r/red)