ACEH SINGKIL (Aceh) ketikberita.com | Tangis laut tak lagi bersenandung. Ia mengaum, menggerus daratan, menelan pelan-pelan jejak kehidupan yang dulu penuh harapan. Inilah kisah pilu dari pesisir Pantai Pulo Sarok, Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil—tempat di mana gelombang tak hanya memecah karang, tapi juga merobek mimpi dan masa depan warga.
Sejak 2020, abrasi pantai menjadi ancaman nyata yang tak pernah lelah menggigit tepian daratan. Sedikit demi sedikit, sejauh lebih dari 135 meter, tanah yang dulunya dipijak dengan penuh harap kini lenyap digulung ombak. Bangunan runtuh. Fasilitas umum rusak. Dan yang tersisa hanyalah kecemasan: akankah esok rumah kami masih berdiri?
Setiap bulan, satu hingga dua kali, gelombang pasang menerjang. Tak memberi ampun. Tak memberi jeda. Pesisir yang dulu ramai kini menjadi medan luka yang menganga. Erosi tak terkendali mengubah lanskap menjadi puing dan pasir berserak. Ekonomi warga merosot, mata pencarian hilang satu per satu, dan suara-suara putus asa makin sering terdengar.
Salah satu korban paling nyata dari bencana ini adalah WDB Cafe, milik H. Ismail Lubis. Kafe yang dulunya menjadi tempat berkumpul dan penggerak ekonomi keluarga, kini hanya menyisakan dinding yang digerogoti laut. Pada Minggu pagi, 24 Agustus 2025, sekitar pukul 06.40 WIB, gelombang kembali menghantam, membawa puing dan kepiluan yang belum sempat pulih dari hantaman sebelumnya.
“Sejak 2021, saya sudah berusaha sendiri. Pasang cerucuk, tumpuk goni tanah, semuanya dengan uang pribadi,” ujar H. Ismail dengan mata yang tak bisa lagi menyembunyikan lelah. Ratusan juta rupiah ia habiskan, bukan untuk memperbesar usaha, melainkan hanya untuk mempertahankan sepetak harapan dari terjangan laut. Namun, semua upaya itu kini tinggal kenangan.
Bencana ini bukan hanya milik satu orang. Pulo Sarok terluka bersama. Warga hidup dalam kecemasan yang membayangi: apakah malam ini mereka masih bisa tidur di rumah sendiri, atau harus menyaksikan gelombang mencabut atap dan mimpi mereka sekali lagi.
Masyarakat kini bersatu dalam satu suara: mereka memohon tindakan nyata dari pemerintah. Harapan mereka sederhana tapi mendesak—pembangunan tanggul atau pengaman pantai permanen yang bisa menjadi perisai terakhir melindungi Pulo Sarok dari kehancuran total.
Mereka juga berharap adanya perhatian terhadap kerugian yang telah ditanggung sendiri, termasuk kompensasi atas bangunan dan usaha yang lenyap, serta ganti rugi atas pengeluaran pribadi yang tak mampu lagi mereka pulihkan.
“Kami tak ingin kehilangan kampung halaman. Kami hanya ingin hidup tenang,” kata H. Ismail, mewakili suara seluruh warga yang kini hidup dengan jantung berdebar setiap kali suara ombak terdengar lebih keras dari biasanya.
Pulo Sarok butuh lebih dari sekadar simpati. Ia butuh aksi. Karena jika laut terus menelan, dan dunia hanya menonton, maka suatu hari nanti—yang tersisa dari Pulo Sarok hanyalah cerita. Cerita tentang sebuah kampung yang hilang… bukan karena waktu, tapi karena diamnya manusia. (R84)