Ketidakjelasan Kewenangan Penanganan Konflik Buaya di Aceh Singkil, Pemerintah Daerah Keberatan

54

ACEH SINGKIL (Aceh) ketikberita.com | Penjabat Bupati Aceh Singkil, Azmi, mengungkapkan bahwa terbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 yang mengubah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, telah menciptakan ketidakjelasan dalam penanganan konflik buaya di daerahnya.

Azmi menilai perubahan tersebut mengalihkan kewenangan penanganan konflik buaya dan interaksi antara manusia atau nelayan dengan buaya dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang berdampak pada kesulitan dalam menangani ancaman buaya.

“Artinya, penanganan konservasi buaya dan konflik dengan manusia atau nelayan di perairan, pulau-pulau kecil, serta sungai tidak lagi menjadi kewenangan BKSDA,” ujar Azmi pada Sabtu, 1 Februari 2025.

Azmi juga menyoroti kebingungan yang muncul di kalangan masyarakat dan pemangku kepentingan terkait, mengenai lembaga mana yang kini bertanggung jawab dalam menangani konflik dengan buaya. Ia menjelaskan bahwa hingga kini, belum ada petunjuk teknis atau peraturan turunan terkait undang-undang tersebut, sehingga penanganan konflik buaya masih tergantung pada keputusan pemerintah pusat.

“Kami sudah beberapa kali mengajukan permohonan, seperti untuk penangkaran atau pengurangan populasi buaya, namun belum ada respons. Bahkan izin untuk menembak buaya secara ekstrem pun tidak diberikan. Bagaimana kami bisa menangani masalah ini kalau kewenangan kami tidak jelas? Jika kami bertindak sembarangan, tantangannya adalah pidana,” kata Azmi.

Sebagai upaya tindak lanjut, Azmi mengarahkan Kepala Dinas Perikanan Aceh Singkil untuk menyurati Penjabat Gubernur Aceh guna meminta langkah-langkah perlindungan yang lebih jelas bagi masyarakat. Ia menambahkan bahwa masalah ini tidak hanya terjadi di Aceh Singkil, tetapi juga di berbagai kabupaten dan kota lainnya di Aceh.

“Perlindungan masyarakat harus dilakukan melalui regulasi dan peraturan yang jelas. Kami meminta program perlindungan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah,” tegas Azmi.

Azmi juga menekankan pentingnya pembuatan regulasi yang jelas, bukan hanya pengawasan individu. “Sekarang undang-undangnya sudah ada, tetapi penjabaran dan delegasi kewenangan ke pemerintah daerah belum jelas,” ujarnya. Dia menyarankan agar BKSDA maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat rambu-rambu wilayah yang aman dan tidak aman bagi masyarakat berdasarkan survei populasi buaya, serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mengurangi risiko.

“Kementerian memiliki tenaga ahli untuk menghitung populasi dan menentukan area yang berisiko. Sosialisasi ke masyarakat juga harus dilakukan oleh pihak kementerian,” tambah Azmi. (R84)

Artikulli paraprakDinkes Aceh Singkil Lakukan Fogging di Singkil Utara untuk Antisipasi Penyebaran DBD
Artikulli tjetërBrigjen. Pol. Asep Safrudin Resmi Jabat Kapolda Kepri, Gantikan Irjen. Pol. Yan Fitri Halimansyah