“Bukti Ilmiah atau Scientific Evidence dan Perintah Jabatan yang Menyebabkan Hilangnya Nyawa”

467

MEDAN ketikberita.com | Penomena penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri di era distrupsi saat ini mengalami berbagai tantangan yang apabila tidak disikapi secara komprehensif akan menghilangkan karakteristik penegakan hukum yang bersifat independen bebas dari pengaruh dan/atau intervensi dalam bentuk apapun.

Polri selaku penyidik sebagai prime mover penegakan hukum tentunya bekerja dalam melaksanakan perintah jabatan untuk mencari kebenaran materil yang mengharuskan membuktikan suatu peristiwa sebagai fakta hukum (beyond reasonable doubt) bukan didasarkan pada opini maupun viral nya suatu peristiwa yang belum tentu keviralan dimaksud sebagai fakta hukum yang berdampak pada diperiksanya penyidik karena diduga kurang profesional.

“Opini dan viralnya suatu peristiwa bukan merupakan fakta hukum, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengukur ketidakprofesionalan penyidik karena opini masih berada dalam tatanan preponderance of evidence yang memerlukan pengujian kebenaran melalui scientific evidence”, ujar Dr. Alpi Sahari, SH. M.Hum yang sering diminta memberikan keterangan ahli terhadap beberapa kasus yang menjadi perhatian publik.

Dr. Alpi menjelaskan Polri dalam menjalankan perintah jabatan tentunya sangat rentan menimbulkan suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai delik pidana, namun hukum pidana memberikan alasan pembenar untuk menghapuskan pidana apabila dilakukan secara patut dalan lingkup subronasi.

Contoh dalam pengungkapan peredaran gelap Narkoba dan penangkapan pelaku oleh Polres Pelabuhan Belawan yang mengakibatkan hilangnya nyawa pelaku karena melakukan perlawanan, namun menurut keluarga pelaku tidak ada melakukan perlawanan yang selanjutnya peristiwa ini menjadi viral.

Untuk menemukan kebenaran atas peristiwa ini tentunya harus melakukan pendekatan scientific eviden berupa peristiwanya harus terbukti (beyond reaonable doubt) sehingga dapat dikualifikasi melaksanakan perintah jabatan.

“Di dalam hukum pidana terdapat 2 (dua) hal yang harus diperhatikan untuk menghapuskan pidana yakni Pertama, perintah jabatan yang dilakukan secara patut dan seimbang sehingga tidak melampaui batas kewajaran. Kedua, melaksanakan perintah undang-undang berdasarkan prinsip subsidaritas dan proporsionalitas”. Ucap Alpi

Prinsip subsidaritas dalam kaitannya dengan perbuatan pelaku adalah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan dan mewajibkan pelaku berbuat demikian. Sedangkan prinsip proporsionalitas yaitu pelaku hanya dibenarkan jika dalam pertentangan antara dua kewajiban hukum yang lebih besarlah yang diutamakan.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah undang-undang adalah karakter dari pelaku. apakah pelaku tersebut selalu melaksanakan tugas-tugas dengan iktikad baik ataukah justru sebaliknya. Hukum pidana telah meletakkan dasar penghapusan pidana dalam melaksanakan perintah jabatan dan melaksanakan perintah undang-undang.

Artinya bahwa tidak ada satupun peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang melebihi pengaturannya dan/atau bahkan lebih super power daripada Undang-Undang kecuali UUD 1945 dan Pancasila karena Negara Republik Indonesia adalah Rechtstaat bukan Machstaat (Negara Hukum bukan Negara Kekuasaan). (red)