Pembangunan daerah selalu berhadapan dengan dilema klasik: kebutuhan yang besar namun kemampuan fiskal yang terbatas. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memang terus tumbuh dari tahun ke tahun, tetapi besarnya tuntutan pembangunan, baik infrastruktur fisik maupun pelayanan sosial, tidak pernah sejalan dengan kapasitas anggaran yang tersedia.
Pemerintah daerah juga masih sangat bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat yang porsinya bisa mencapai lebih dari separuh dari total pendapatan daerah. Ketika kondisi fiskal nasional menghadapi tekanan akibat gejolak global dan kebutuhan pembiayaan pusat semakin besar, ruang fiskal untuk daerah pun ikut tertekan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: sampai kapan daerah hanya mengandalkan pusat sebagai sumber utama pembiayaan? Thasrif Murhadi (Kepala Wilayah Bursa Efek Indonesia Provinsi Aceh) berpandangan bahwa
pasar modal menghadirkan jawaban baru melalui instrumen obligasi daerah dan sukuk daerah.
Instrumen ini memungkinkan pemerintah daerah menghimpun dana langsung dari masyarakat maupun investor institusi untuk membiayai pembangunan daerah. Dengan cara ini, partisipasi publik dalam pembangunan tidak hanya berbentuk pajak dan retribusi, tetapi juga dalam bentuk investasi yang memberikan imbal hasil. Inilah yang kemudian memberi makna lebih luas terhadap konsep kemandirian fiskal daerah, di mana pemerintah daerah dapat memobilisasi sumber daya keuangan dari masyarakat untuk dikembalikan lagi dalam bentuk pembangunan yang nyata.
Obligasi daerah didefinisikan sebagai surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh pemerintah daerah melalui mekanisme penawaran umum di pasar modal. Sementara itu, sukuk daerah adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah dengan adanya aset atau proyek dasar (underlying asset) sebagai landasan transaksi. Kedua instrumen ini diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia, tunduk pada regulasi Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan, serta peraturan terkait pasar modal. Dengan demikian, keberadaannya
bukan sekadar wacana, melainkan instrumen yang memiliki payung hukum dan mekanisme pasar
yang jelas.
Keberanian daerah untuk menerbitkan obligasi atau sukuk akan mendatangkan banyak manfaat strategis. Pemerintah daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada dana pusat atau pinjaman perbankan. Sumber pendanaan baru akan tercipta, yang berasal langsung dari masyarakat dan investor. Citra pemerintah daerah di mata publik dan investor juga akan meningkat, karena penerbitan instrumen ini menuntut tata kelola yang transparan dan disiplin fiskal yang tinggi.
Kredibilitas keuangan daerah yang baik akan menjadi modal berharga dalam menjalin hubungan jangka panjang dengan pasar keuangan. Selain itu, kapasitas fiskal daerah akan meningkat secara signifikan. Dengan tambahan dana dari pasar modal, pemerintah daerah dapat menjalankan proyek strategis lebih cepat tanpa menunggu antrian panjang dalam mekanisme transfer pusat. Biaya dana yang diperoleh pun bisa lebih kompetitif karena imbal hasil obligasi atau sukuk ditentukan oleh mekanisme pasar.
Di sisi lain, instrumen ini dapat diperdagangkan di pasar sekunder sehingga memberi likuiditas bagi investor. Struktur pembiayaannya fleksibel karena bisa disesuaikan dengan kemampuan kas daerah, misalnya melalui pola pembayaran pokok yang bertahap. Lebih jauh lagi, adanya insentif berupa potongan biaya pencatatan dari Bursa Efek Indonesia membuat biaya penerbitan relatif lebih terjangkau.
Dana hasil penerbitan obligasi atau sukuk daerah dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan yang sah dan produktif. Pembangunan infrastruktur menjadi prioritas utama, mulai dari pembangunan rumah sakit daerah, pasar tradisional yang modern, terminal, pelabuhan lokal, penyediaan air minum, hingga pengelolaan limbah dan persampahan. Proyek-proyek seperti ini tidak hanya memberikan layanan publik yang lebih baik, tetapi juga menciptakan efek berganda terhadap ekonomi lokal. Selain itu, dana tersebut bisa digunakan untuk mengelola portofolio utang daerah agar lebih sehat dan efisien.
Pemerintah daerah juga dapat memperkuat permodalan Badan Usaha Milik Daerah sehingga lebih mampu mengelola sektor strategis. Bahkan, obligasi atau sukuk daerah juga dapat diarahkan pada proyek-proyek berbasis keberlanjutan, misalnya energi terbarukan dan konservasi lingkungan, sejalan dengan tren pembiayaan hijau yang kini menjadi perhatian global.
Keuntungan lain yang tidak kalah penting adalah meningkatnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah. Proses penerbitan obligasi atau sukuk mengharuskan laporan keuangan daerah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, memperoleh pemeringkatan dari lembaga rating, serta keterbukaan informasi kepada publik. Hal ini pada gilirannya memaksa pemerintah daerah untuk memperbaiki tata kelola, meningkatkan disiplin anggaran, dan membangun budaya transparansi yang selama ini sering menjadi kelemahan birokrasi.
Di samping itu, keterlibatan investor dalam pembangunan daerah akan menciptakan hubungan baru yang lebih setara antara pemerintah daerah dan pelaku ekonomi. Investor tidak hanya datang untuk mencari keuntungan, tetapi juga ikut menanggung risiko bersama dalam membangun daerah.
Namun demikian, penerbitan obligasi atau sukuk daerah juga tidak lepas dari tantangan. Pemerintah daerah harus menjaga disiplin fiskal agar tidak terjebak pada utang yang membebani APBD di masa depan. Kapasitas teknis aparatur pemerintah daerah juga masih terbatas, terutama dalam memahami mekanisme pasar modal yang relatif kompleks. Selain itu, proyek yang akan didanai harus benar-benar layak secara finansial dan sosial agar tidak menimbulkan masalah gagal bayar yang akan merusak reputasi daerah.
Tantangan lain adalah koordinasi lintas lembaga, karena penerbitan instrumen ini memerlukan persetujuan DPRD, Kementerian Keuangan, OJK, hingga Bappenas. Semua itu membutuhkan waktu, kesabaran, dan komitmen politik yang kuat.
Meski penuh tantangan, peluang yang ditawarkan sangat besar. Pengalaman internasional dapat dijadikan referensi. Di Amerika Serikat, obligasi daerah sudah menjadi instrumen utama pembiayaan infrastruktur sejak abad ke-19. Bahkan, dua pertiga dari proyek infrastruktur di sana didanai melalui municipal bonds, termasuk proyek ikonik seperti Golden Gate Bridge di San Francisco. Di Jepang, obligasi daerah telah digunakan untuk membiayai rumah sakit, stadion, hingga museum. Fakta ini menunjukkan bahwa pembiayaan berbasis pasar modal untuk pemerintah daerah bukan sesuatu yang mustahil, melainkan justru sebuah keniscayaan untuk mempercepat pembangunan.
Di Indonesia sendiri, penerbitan obligasi atau sukuk daerah bisa menjadi tonggak baru dalam sejarah keuangan daerah. Dengan populasi besar dan kebutuhan pembangunan yang sangat luas, partisipasi publik melalui pasar modal akan memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap pembangunan di daerahnya. Masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga ikut terlibat sebagai investor yang menanamkan dananya demi kemajuan bersama. Inilah bentuk nyata demokratisasi ekonomi, di mana pembangunan tidak hanya ditopang oleh negara, melainkan juga oleh masyarakat.
Karena itu, kami mendorong agar pemerintah daerah menyiapkan diri sejak sekarang. Laporan keuangan yang transparan dan akuntabel harus menjadi fondasi utama. Proyek-proyek prioritas harus dipilih dengan cermat, dengan mempertimbangkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kapasitas sumber daya manusia aparatur perlu ditingkatkan melalui pelatihan tentang mekanisme pasar modal. Dukungan politik dari DPRD juga harus diraih sejak awal agar proses penerbitan berjalan lancar.
Sementara itu, pemerintah pusat harus memberikan kepastian regulasi dan pendampingan teknis agar daerah tidak berjalan sendirian. Insentif tambahan bisa diberikan untuk mendorong daerah lebih cepat masuk ke pasar modal. Bursa Efek Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan juga memiliki peran besar dalam menyediakan platform perdagangan yang likuid, serta program literasi dan edukasi bagi calon penerbit maupun investor.
Pada akhirnya, keberanian daerah untuk menerbitkan obligasi atau sukuk adalah keberanian untuk keluar dari zona nyaman ketergantungan fiskal terhadap pusat. Ini adalah langkah menuju kemandirian, transparansi, dan partisipasi publik yang lebih luas. Di tengah kebutuhan pembangunan yang terus meningkat, sementara sumber daya konvensional semakin terbatas, obligasi atau sukuk daerah menawarkan jalan keluar yang realistis sekaligus progresif. Pemerintah daerah harus melihat instrumen ini bukan sebagai beban, melainkan sebagai peluang emas untuk membangun daerah dengan cara yang lebih modern, berkelanjutan, dan partisipatif.
Jika pemerintah daerah berani melangkah, masa depan pembangunan daerah Indonesia akan lebih cerah. Infrastruktur akan tumbuh lebih cepat, layanan publik lebih baik, ekonomi lokal lebih dinamis, dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah semakin kuat. Dari APBD ke pasar modal, inilah saatnya daerah menegaskan kemandirian fiskal dan membuka jalan baru bagi pembangunan yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Oleh: Thasrif Murhadi Kepala Wilayah Bursa Efek Indonesia Provinsi Aceh