TEBING TINGGI (Sumut) ketikberita.com | Tebingtinggi adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayahnya 38,44 km². Kota ini berada di tengah-tengan Kabupaten Serdang Bedagai dan dikelilingi hamparan perkebunan PTPN III, IV dan PTPD Payapinang.
Saat ini, terdapat 5 Kecamatan yang ada di Kota Tebingtinggi, yaitu Kecamatan Padang Hilir dengan luas wilayah 11.441 Ha, Kecamatan Bajenis 9.078 Ha, Padang Hulu 8.511 Ha, Rambutan 5.935 Ha, Tebing Tinggi Kota 3.473 Ha.
Melihat latar belakangnya, Kota Tebingtinggi memiliki asal usul dan histori sejarah yang panjang dan sangat menarik untuk diketahui, terutama bagi masyarakat yang lahir dan tinggal di Kota Tebingtinggi itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab tanpa mengetahui sejarahnya, bagaiman kita bisa mencintai dan berniat bersama untuk memajukan kota ini.
”Seperti kata pepatah yang sering kita dengar, tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta,”
Begitulah hendaknya kita mengenal akan sejarah Kota Tebingtinggi, agar dengan mengenal dan mengetahui sejarah, asal usul kota ini, sebagai masyarakat kita dapat menumbuhkan rasa sayang dan rasa cinta, terutama bagi masyarakat yang lahir dan besar di Kota Tebingtinggi itu sendiri.
*Sejarah dan Asal Usul Nama Tebing Tinggi
Dalam sejarahnya, Tebingtinggi acap kali dikaitkan dengan para bangsawan lama yang tinggal di wilayah tersebut. Ini lantaran Tebingtinggi memiliki sejarah yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerajaan Deli yang merupakan salah satu kerajaan Melayu di Sumatera.
Berdiri pada tahun 1632, Kerajaan Deli didirikan oleh pendiri yang bernana Tuanku Panglima Gocah Pahlawan. Selama berdiri, Kerajaan Deli menguasai wilayah yang meliputi Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebingtinggi, dan sebagian Simalungun. Dalam sejarah yang ada, Kerajaan Deli telah menjalin hubungan dagang dengan Belanda, Inggris dan Aceh.
Kerajaan Deli memiliki bawahan yakni Kerajaan Padang yang didirikan oleh Raja Padang merupakan putra dari Raja Deli ke-3, yaitu Tuanku Panglima Perunggit. Jika dikaitkan dan digali histori sejarahnya, sebelum menjadi perkampungan, kala itu Tebingtinggi masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Padang dimaksud.
Pusat Kerajaan Padang berada di daerah Tanjung Beringin, yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Serdang Bedagai. Kerajaan Padang menguasai beberapa wilayah yang meliputi Tanjung Beringin, Sei Rampah, Tebingtinggi dan sebagian Simalungun.
Sementara itu, untuk asal-usul nama Tebingtinggi selalu dikaitkan dengan adanya cerita rakyat seorang bangsawan dari Bandar Simalungun (sekarang masuk wilayah Pagurawan). Bangsawan itu bernama Datuk Bandar Kajum, beliau bermarga Damanik dan telah pergi meninggalkan kampung halaman pada tahun 1864.
Bersama pengikut setia dan para penggawa serta inang pengasuhnya, Datuk Bandar Kajum meninggalkan kampung halaman dengan cara menyusuri daratan di sepanjang sungai Padang untuk mencari tempat tinggal baru. Kemudian berlabuh dan bermukim pertama kali di sekitar aliran sungai tepatnya Kampung Tanjung Marulak (sekarang Kelurahan Tanjung Marulak yang masuk dalam wilayah Kecamatan Rambutan).
Di daratan Tanjung Marulak, Datuk Bandar Kajum bersama para pengikutnya tidak dapat bertahan lama, kehidupan mereka tidaklah tenteram karena dia terus saja diburu oleh tentara Kerajaan Raya, sehingga Datuk Bandar Kajum harus memindahkan pemukimannya ke suatu lokasi yang persis berada di bibir sungai Padang.
Pemukiman baru itu berada disebuah tebing yang tinggi. Disama Datuk Bandar Kajum dan para pengikut setianya mendirikan hunian di atas tebing yang tinggi itu sembari memagarinya dengan kayu yang kokoh.
Tidak sampai disitu, tentara dari Kerajaan Raya tetap mencari keberadaan Datuk Bandar Kajum. Suatu kali mereka kembali menyerang Kampung Tebingtinggi untuk menangkap Datuk Bandar Kajum, tetapi karena tidak berada di tempat, Datuk Bandar Kajum yang bergelar Datuk Punggawa ini selamat. Sedangkan keluarganya, bersama pengikutnya, melarikan diri ke Perkebunan Rambutan yang saat itu dibawah kekuasaan Kolonial Belanda.
Dibantu oleh Belanda, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan serangan balasan terhadap tentara Kerajaan Raya ini. Dalam peperangan itu, ia bersama pengikutnya berhasil mengalahkan tentara Kerajaan Raya.
Selanjutnya, setelah suasana kembali aman, untuk tetap menjaga ketentraman daerah itu, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan perjanjian dengan Belanda. Oleh Belanda, daerah kekuasaan Datuk Bandar Kajum ini dilebur menjadi wilayah taklukan Kerajaan Deli yang dibawahi Kerajaan Padang. Penandatanganan surat perjanjian itu, dilakukan Datuk Bandar Kajum dan Belanda di sebuah sampan bernama ’Sagur’ di sekitar muara sungai Bahilang pada tahun 1873.
Dalam surat tersebut, Tebingtinggi disebut sebagai salah satu daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Deli. Surat ini juga menetapkan batas-batas wilayah Kerajaan Deli, yang meliputi Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebingtinggi, dan sebagian Simalungun.
Sejak penandatangan surat perjanjian itu, Datuk Bandar Kajum beserta pengikutnya bertahan di daratan tebing yang tinggi atau sekarang berlokasi di Kelurahan Tebingtinggi Lama, Padang Hilir dan kini menjadi lokasi pemakaman beliau beserta keturunannya, hingga diyakini sebagai cikal bakal nama Tebingtinggi.
Pada tahun 1907, Tebingtinggi telah menjadi salah satu kota otonom di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Kota ini memiliki status sebagai gemeente (Kotapraja) yang dipimpin oleh seorang burgemeester (Walikota).
Pada masa ini, Tebingtinggi berkembang sebagai kota perdagangan dan perkebunan, terutama karet, kelapa sawit, dan tembakau. Kota ini juga menjadi tempat persinggahan bagi para pedagang dan pekerja yang menuju Medan atau Belawan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Tebingtinggi menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 1956, Tebingtinggi diresmikan sebagai kota administratif yang dipimpin oleh seorang Wakil Walikota. Kemudian pada tahun 1974, Tebingtinggi ditingkatkan menjadi kota madya yang dipimpin oleh seorang Walikota.
Berdasarkan pernyataan resmi pertama yang dibuat oleh sejumlah tokoh masyarakat Kota Tebingtinggi pada tahun 1987. Diantaranya Datuk Idris Hood bersama Adnan Ilyas, Drs. Mulia Sianipar, Amirullah, Kasmiran, Djunjung Siregar, Mangara Sirait, Sjahnan dan O.K. Siradjoel Abidin yang membuat pernyataan diatas kertas kerja dan berusaha menggali sejarah berdirinya Kota Tebingtinggi.
Pernyataan itu terdapat dalam makalah berjudul ”Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebingtinggi”. Kemudian, oleh pemerintah saat itu, makalah tersebut dijadikan sebagai Perda yang menetapkan bahwa awal berdirinya Kota Tebingtinggi adalah 1 Juli 1917.
Sementara itu, sejak tahun tahun 1999, Tebingtinggi menjadi kota otonom yang memiliki hak untuk mengatur urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sendiri sampai saat ini.
Kini, di tahun 2024 Kota Tebingtinggi sudah berusia lebih 1 abad, yaitu 107 tahun, bukan usia yang muda lagi kalau untuk ukuran umur manusia dan sudah selayaknya catatan dan bukti-bukti sejarah itu harus disampaikan kepada masyarakat luas agar sejarah Kota Tebingtinggi yang juga dikenal sebagai kota lemang dapat terus diketahui oleh generasi muda saat ini dan generasi selanjutnya. (Reta P. Hasibuan)