MEDAN ketikberita.com | Pemilu 2024 akan diwarnai persaingan yang lebih ketat dan unpredictable dibandingkan 2019, akan tetapi polarisasi berbasis SARA cenderung lebih bisa ditanggulangi dibanding pemilu sebelumnya.
Ada hal positif bahwa tahun pemilu kali ini akan mendorong konsumsi lebih besar mengingat bukan hanya Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang akan dilaksanakan di bulan Februari, akan tetapi juga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di bulan September 2024.
Meski mendorong aktivitas perekonomian, namun juga akan mendorong maraknya persekongkolan tender dan persaingan usaha yang tidak sehat akibat proses demokrasi yang membutuhkan biaya tinggi.
Dalam konteks politik lokal, tidak sedikit kepala daerah yang menang menggunakan dukungan dari kalangan pertambangan, perkebunan sawit dan jasa konstruksi, sehingga ada kaitan erat antara politisi dan sektor-sektor usaha tersebut.
Ketika sebuah sektor perekonomian berkaitan dengan sensitifitas terhadap perizinan maka di sini terbuka celah persaingan usaha tidak sehat. Misalnya siapa yang dapat HGU untuk sawit, siapa yang dapatkan izin usaha untuk tambang atau siapa yang dimenangkan dalam tender. Maka disitu akan sulit bagi pemain yang modal kecil dan koneksi ke politik terbatas akan dapat masuk ke pasar.
Ketika batas antara penguasa dan pengusaha makin samar, itulah yang menjadi musuh besar demokrasi ekonomi. Jika penguasa dan pengusaha di tangan satu orang maka persaingan cenderung akan melemah karena usahanya berbasis power/kekuasaan bukan persaingan. Dampaknya pada kesejahteraan rakyat, ekonomi tidak efisien, dan konsumen dirugikan.
Menurut Ridho Pamungkas (foto), Kepala Kanwil I KPPU, pasangan calon presiden dan wakil presiden semestinya menjadikan persaingan usaha sebagai salah satu agenda besar mereka dalam menjalani masa jabatan setelah terpilih. Hal itu karena dengan persaingan yang sehat, maka pengusaha akan unggul dan membuat masyarakat makmur.
Untuk itu agenda kebijakan ekonomi yang dibuat harus mampu meningkatkan insentif perusahaan untuk mengurangi biaya, transparansi dalam harga antar pesaing, memfasilitasi konsumen untuk kritis, memudahkan perusahaan untuk masuk dan keluar pasar, dan meningkatkan keinginan perusahaan untuk berinovasi.
”Pemimpin terpilih nantinya harus memiliki political will untuk memperkuat kelembagaan dan kewenangan KPPU dalam memberantas praktik monopoli dan oligarki demi menjaga stabilitas ekonomi dan politik suatu negara.
Sebab, jika dibiarkan kelompok ini akan mengganggu demokratisasi ekonomi dan politik. Pasar akan semakin tak efisien karena harga cenderung dipermainkan oleh kelompok tertentu” ujar Ridho.
Ridho mengingatkan contoh kasus minyak goreng dimana produsen besarnya hanya beberapa, sehingga ketika harga minyak goreng terus merangkak naik akan mengakibatkan pemerintah sulit untuk mengatur dan mengendalikan harga di pasar.
Saat pemerintah mau memaksa menerapkan harga tertinggi (ceiling price), lanjutnya, maka minyak goreng pun menghilang di pasar. Namun, jika persaingannya sempurna atau tidak ada oligopoly, maka produsen pun banyak sehingga harga di pasar juga mudah dipengaruhi.
Pada kontestasi calon legislatif di Sumut, Ridho menyebutkan setidaknya ada dua nama kandidat yang memiliki pemahaman yang sangat baik di bidang persaingan usaha, Yakni Ramli Simanjuntak SH, caleg dari Partai Golkar untuk DPRD Kabupaten Toba, yang pernah menjabat sebagai Kepala Kanwil I KPPU, dan Muhammad Iqbal ST, M.Ikom, caleg Caleg DPRD Provinsi Dapil Sumut III (Deli Serdang) dari PAN yang juga merupakan Tenaga Ahli di KPPU Pusat.
Ridho berharap jika keduanya terpilih, akan dapat mewarnai produk-produk kebijakan di daerah agar sejalan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha dan kemitraan yang sehat. (r/red)