Home / Ketik Berita / Ekonomi & Bisnis / Obligasi Indonesia di Tengah Dinamika Pasar Global

Obligasi Indonesia di Tengah Dinamika Pasar Global

JAKARTA ketikberita.com | Pasar obligasi Indonesia pada September 2025 menunjukkan dinamika yang menarik sekaligus menantang. Indeks obligasi komposit, Indonesia Composite Bond Index (ICBI), terus mencatatkan performa positif sepanjang tahun ini dengan kenaikan lebih dari sembilan persen secara year-to-date. Pergerakan tersebut mencerminkan rally yang cukup kuat baik di obligasi pemerintah maupun korporasi, meskipun sempat terkoreksi tipis dalam basis mingguan. Hal ini menegaskan bahwa obligasi tetap menjadi instrumen penting yang menopang stabilitas pasar keuangan di tengah ketidakpastian global.

Jika dilihat dari sisi fundamental, spread antara yield obligasi pemerintah Indonesia dan obligasi pemerintah Amerika Serikat tenor 10 tahun relatif stabil di kisaran 228 basis poin. Hal ini menunjukkan premi risiko Indonesia masih terjaga, meski terdapat pelemahan rupiah yang cukup signifikan pada bulan September. Nilai tukar rupiah melemah hingga menyentuh Rp16.752 per dolar AS, sejalan dengan penguatan indeks dolar global. Indonesia tercatat sebagai salah satu mata uang yang mengalami pelemahan terdalam di kawasan Asia, meskipun tekanan ini juga dialami negara lain akibat sentimen suku bunga The Fed dan ketidakpastian perdagangan global.

Di sisi permintaan, lelang obligasi pemerintah sepanjang bulan tetap mencatatkan minat yang tinggi, khususnya dari investor lokal. Pada lelang terakhir, porsi penawaran dari asing hanya sekitar 13 persen dari total bid, jauh menurun dibandingkan awal tahun yang mencapai 30 persen. Tren ini memperlihatkan semakin pentingnya peran investor domestik dalam menopang pasar obligasi. Institusi lokal seperti perbankan, asuransi, dan dana pensiun menjadi pembeli utama yang menjaga stabilitas pasar, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap arus modal asing yang volatil.

Sementara itu, volatilitas pasar global meningkat pada bulan September, tercermin dari kenaikan indeks VIX hampir sembilan persen secara bulanan. Peningkatan risiko global dipicu oleh beberapa faktor, antara lain kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump yang masih menyisakan ketidakpastian, konflik geopolitik di berbagai belahan dunia, serta arah kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat. The Fed akhirnya mulai memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin ke kisaran 4,00–4,25 persen, setelah lama dinantikan oleh pelaku pasar. Langkah ini diharapkan dapat meredakan tekanan pada perekonomian global, namun pasar masih menunggu kepastian apakah siklus pemangkasan akan berlanjut atau berhenti sementara.

Di dalam negeri, Bank Indonesia juga menempuh kebijakan moneter yang akomodatif dengan memangkas BI 7-Day Reverse Repo Rate sebanyak lima kali sepanjang 2025, total sebesar 125 basis poin. Penurunan suku bunga acuan ini dilakukan untuk mendukung daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah inflasi yang rendah. Meski demikian, terdapat kekhawatiran bahwa pelonggaran moneter yang agresif bisa memperlemah rupiah lebih jauh, sehingga menimbulkan dilema kebijakan. Kombinasi kebijakan BI dan Fed akan menjadi faktor penting yang menentukan arah pasar obligasi pada kuartal berikutnya.

Kondisi fiskal pemerintah juga tidak kalah menarik untuk diperhatikan. Pendapatan negara mengalami kontraksi, terutama dari penerimaan pajak, sementara belanja justru meningkat, khususnya pada transfer ke daerah dan program bantuan sosial. Dengan demikian, kebutuhan pembiayaan melalui penerbitan surat utang negara berpotensi meningkat pada akhir tahun. Hal ini bisa menambah pasokan obligasi di pasar, meskipun pemerintah berupaya menjaga keseimbangan dengan stimulus ekonomi baru melalui berbagai program percepatan.

Ke depan, terdapat tiga skenario utama bagi pasar obligasi Indonesia. Skenario dasar yang paling mungkin adalah penurunan suku bunga secara bertahap baik oleh The Fed maupun Bank Indonesia, dengan implikasi yield obligasi cenderung menurun, arus masuk asing meningkat, serta penerbitan obligasi korporasi bertambah. Skenario positif yang lebih optimistis mencakup pemangkasan suku bunga yang agresif, stabilitas rupiah, dan lonjakan besar dalam penerbitan obligasi korporasi. Namun, tidak dapat diabaikan pula skenario negatif, yakni jika The Fed kembali bersikap hawkish akibat lonjakan inflasi, sehingga Bank Indonesia tidak bisa melanjutkan pemangkasan suku bunga. Dalam kondisi tersebut, yield obligasi bisa naik, investor asing keluar, dan penerbitan obligasi korporasi menurun.

Dari seluruh dinamika ini, jelas terlihat bahwa pasar obligasi Indonesia tengah berada pada persimpangan penting. Di satu sisi, faktor domestik seperti kebijakan moneter longgar, dukungan investor lokal, dan stimulus fiskal memberikan landasan positif. Namun di sisi lain, tekanan eksternal berupa pelemahan rupiah, ketidakpastian global, dan arus keluar modal asing tetap membayangi. Bagi investor, memahami keseimbangan faktor-faktor ini sangat krusial untuk menentukan strategi investasi yang tepat. Obligasi masih menawarkan peluang menarik, tetapi dengan risiko yang perlu dikelola secara hati-hati, terutama terkait volatilitas pasar global dan arah kebijakan suku bunga ke depan. (r/BEI)